BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia. Pengertian
Perkawinan Campuran menurut undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974
dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Pengertian perkawinan
campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah lebih sempit apabila
dibandingkan dengan pengertian "perkawinan campuran" dalam GHR, karena
kriteria perkawinan campuran menurut UUP hanya didasarkan atas adanya
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Untuk dapat melangsungkan
perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1
Tahun 1974 (UUP). Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian
ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan
campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri
dan status kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum yang lain dari
perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia
dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30
sampai dengan pasal 36 UUP.
B. Tujuan Penulisan
Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Hukum Perdata Internasional serta agar ingin lebih megkaji dan memahami
tentang Bagaimana Status Anak dalam Perkawinan Beda Kewarganegaraan.
C. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Hukum dan Teori-teori yang Mengaturnya
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, anak yang lahir dari “perkawinan campur”
hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya. Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958,
dianggap tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi anak yang
lahir dari perkawinan campur dan diskriminasi hukum terhadap WNI
Perempuan. Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari
perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi
warganegara asing.
Upaya memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia yang
melakukan pernikahan dengan warga asing serta menghilangkan diskriminasi
bagi WNI perempuan, lahirlah Undang-undang Kewarganegaraan yang baru,
yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006. Undang – undang ini
memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil kawin
campur. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan kewarganegaran dari perkawinan campuran.
Disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan) ini pada tanggal 1 Agustus 2006
oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, memberikan semangat dan harapan
baru bahwa Negara benar-benar menjamin dan melindungi kepentingan dan
hak dasar bagi perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA untuk bersama
menurunkan kewarganegaraan kepada keturunan mereka
.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, anak yang lahir dari
perkawinan seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maupun anak yang lahir
dari perkawinan seorang Pria WNI dengan Perempuan WNA, diakui
sebagai Warga Negara Indonesia.
Kewarganegaraan merupakan salah satu unsur hakiki yang pada umumnya
sangatlah penting dan merupakan unsur pokok bagi suatu negara yang
menimbulkan hubungan timbal balik serta mempunyai kewajiban memberikan
perlindungan terhadap warga negara, khususnya anak yang dilahir di
Indonesia dari suatu perkawinan campuran antara warga negara Indonesia
dengan warga negara asing. Penentuan sistem kewarganegaraan yang dianut
di dunia pada umum yaitu kewarganegaraan tunggal berdasarkan suatu asas
keturunan (ius sanguinis) atau tempat kelahiran (ius soli). Akan tetapi
adakalanya bagi seseorang anak untuk dapat memiliki kewarganegaraan
ganda (bipatride), hal tersebut disebabkan karena untuk mencegah adanya
orang yang tanpa kewarganegaraan (apatride).
Penentuan Kewarganegaraan yang dianut di Indonesia menurut Undangundang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yaitu
kewarganegaraan ganda terbatas yang pada pasal 6 dan 21 menjelaskan
bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin,
berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari
ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan
sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Kewarganegaraan ganda
terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari
suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian
atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih
memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi
memelihara anak asing. Jadi, Undang – undang baru ini lebih memberikan
perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “
perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.
Prinsip yang termaktub dalam UU Kewarganegaraan tersebut sangat jelas yaitu:
1. Prinsip persamaan di dalam hukum dan pemerintahan;
2. Prinsip perlindungan terbaik bagi kepentingan anak;
3. Prinsip kewarganegaraan ganda terbatas;
4. Prinsip perlindungan maksimum;
5. Prinsip non diskriminatif.
Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dari UU Kewarganegaraan, titik taut agar anak
memperoleh Kewarganegaraan Indonesia adalah bila salah satu dari kedua
orang tuanya adalah WNI, dan dengan prinsip perlindungan terbaik bagi
kepentingan terbaik anak maka dalam
Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41 dari UU Kewarganegaraan anak-anak
yang telah dilahirkan sebelum UU Kewarganegaraan disahkan dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pendaftaran.
UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan Peralihan Pasal 41:
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan
dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan
mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan
Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang
ini diundangkan.
Ketentuan dari Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41 dari UU
Kewarganegaraan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No.
M.01-HL.03.01 Tahun 2006 (Permen). Persyaratan terhadap permohonan
tersebut diatur dalam Pasal 4 Permen.
Namun dalam kenyataannya dalam Pasal 4 ayat 2 terdapat perbedaan
interpretasi yang sangat mendasar yang dapat mengakibatkan tidak dapat
dinikmatinya hak perempuan WNI dalam menurunkan kewarganegaraannya
kepada keturunannya, yang telah sekian puluh tahun diabaikan dan
dirugikan oleh negara. Hal ini merupakan bentuk kemunduran dengan tetap
dipeluknya paradigma lama.
Permen No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 2:
Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
1. Fotokopi kutipan akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. Surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. Fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua yang masih
berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan
Republik Indonesia; dan
4. Pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak 6 (enam) lembar.
Seharusnya persyaratan dalam Pasal 4 dari Permen ditujukan bagi orang
tua yang berwarganegara Indonesia saja, hal ini sesuai dengan alur jiwa
dari UU Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 yakni
seorang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena salah satu orang
tuanya adalah WNI.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak
dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan
orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang
tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau
perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar
nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang
baru, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis
besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan
terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah
masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut
prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari
perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam
UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan
ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari
perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan
anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk
dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak
dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan”.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda
juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status
personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak
berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan
antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka
tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak
itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila
ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan
berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan
kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius
sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum
yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang
artinya darah.
Asas Ius Soli
Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan.
Asas Ius Sanguinis
Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
penentuan kewarganegaraan juga dapat didasarkan pada aspek perkawinan
yang mencakupi asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas
persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu
ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam
menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu
kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan
asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama
dan satu.
Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang
No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam
Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat
juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin
• pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut
atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut
• sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui
dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
• tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
• jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi
kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan
tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya;
• memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak
atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan
mendapat kesempatan untuk itu
• dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri
• yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat
tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan
Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan
• masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden
• secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam
dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia
• secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut
• tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing
• mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing
atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih
berlaku dari negara lain atas namanya
• bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia selama 5
(lima tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas Negara
• tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya
untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5
(lima) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang
bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi warga
Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah
memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi
tanpa kewarganegaraan.
B. Tata Cara Pendaftaran Untuk Kewarganegaraan Ganda Anak
Tata cara pendaftaran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari UU
No.12/2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk
Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 Dan
Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal
42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi
anak yang berayahkan WNA dan beribukan WNI dilakukan oleh salah seorang
dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permohonan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. Permohonan
pendaftaran tersebut bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Permohonan pendaftaran bagi anak
yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia
diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal di negara
tempat tinggal anak belum terdapat Perwakilan Republik Indonesia, maka
permohonan pendaftaran dilakukan melalui Kepala Perwakilan Republik
Indonesia terdekat.
Dengan demikian, jika anak-anak Ibu bertempat tinggal di Malaysia, maka
dapat mengajukan permohonannya melalui KBRI di Kuala Lumpur atau
Konsulat Jenderal RI yang terdekat dengan kediaman anak. Begitu pun
halnya jika bertempat tinggal di Jerman, dapat menghubungi KBRI atau
KonJen RI yang terkait.
Permohonan pendaftaran sekurang-kurangnya memuat:
1. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak;
2. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua;
3. nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status
perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua;
dan
4. kewarganegaraan anak.
Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan:
1. fotokopi kutipan Akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih
berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan
Republik Indonesia; dan
4. pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar.
Selain lampiran sebagaimana dimaksud bagi anak yang lahir dari
perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan Akte
perkawinan/buku nikah. Apabila orang tua bercerai atau salah satu
diantaranya telah meninggal dunia, maka dengan melampirkan kutipan Akte
perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan Akte kematian
salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran
menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran I
Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Dalam hal permohonan pendaftaran telah dinyatakan lengkap, Menteri
menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia.
Keputusan tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan ketentuan:
1. rangkap pertama diberikan kepada orang tua atau wali anak melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia sebagai arsip; dan
3. rangkap ketiga disimpan sebagai arsip Menteri.
Keputusan Menteri tersebut disampaikan kepada Pejabat atau Perwakilan
Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia menyampaikan Keputusan Menteri tersebut
kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima.
Permohonan pendaftaran anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya
dapat diproses apabila telah diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia paling lambat pada tanggal 1 Agustus
2010. Dalam hal permohonan pendaftaran anak diajukan secara lengkap
kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia melalui pos hanya
dapat diproses apabila stempel pos pengiriman tertanggal paling lambat
tanggal 1 Agustus 2010.
Dengan demikian anak-anak Ibu akan memiliki kewarganegaraan ganda, dan
di usia 18 tahun nanti atau sebelumnya apabila menikah sebelum 18 tahun,
anak-anak Ibu harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan
tersebut.
PENGERTIAN
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk
menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara
mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang
hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas
kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis.
Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan
hukum dan asas persamaan derajat
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran
didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang
ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
1. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan
Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya
perkawinan yang akan dilakukan adalah perkawinan campuran.
2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat- syarat perkawinan.
Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai,
izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan
sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat
perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat
perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60
ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa
benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan. Bila petugas pencatat Perkawinan menolak memberikan surat
keterangan, maka dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan,
yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU
Perkawinan).
Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku
selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum
dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai
kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
4. Surat-surat yang harus dipersiapkan Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
a. Untuk calon suami
Calon suami harus melengkapi surat-surat dari daerah atau negara
asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan
"Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin
dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di
negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
1. Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
2. Fotokopi Akte Kelahiran
3. Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
4. Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
5. Akte Kematian istri bila istri meninggal
6. Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh
Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
b. Untuk anda, sebagai calon istri
Anda harus melengkapi diri anda dengan:
1. Fotokopi KTP
2. Fotokopi Akte Kelahiran
3. Data orang tua calon mempelai
4. Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawina
5. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta
Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang
beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non
Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
6. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus
dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri,
serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.
Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan
diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami,
maupun menurut hukum di Indonesia.
7. Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan
seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status
anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir
dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah
diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah
kawin maka ia harus menentukan pilihannya.
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3
(tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi
bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda
selanjutnya.
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus
didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah
yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan
anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di
Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
C. Analisis Masalah Di Lapangan
Penelitian dan hasil temuan setelah Peraturan Menteri terbit pada tanggal 26 September 2006.
Pendaftaran kewarganegaraan langsung ke Kantor Wilayah. Tim Riset KPC
MELATI langsung terjun lapangan yaitu ke Kantor Wilayah Dephukham DKI
Jakarta sebagai pintu gerbang pertama yang menangani proses permohonan
pendaftaran anak menjadi WNI.
Tim Riset secara proaktif dan berkala melakukan pengawalan terhadap
aplikasi tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia yang diatur oleh
Permen yang sekarang berjalan bagi pelaku perkawinan campuran terutama
oleh ibu-ibu WNI yang ingin segera mendaftarkan anaknya menjadi WNI.
Masalah-Masalah masih ada saja kendala dalam praktek lapangan
Teori dan praktek beda di lapangan
Index Permasalahan dari Permen ini terbagi dalam kategori:
1. Dokumen Keluarga Perkawinan Campuran
Dilemma: Kurangnya pengetahuan hukum ibu WNI alias buta hukum. Ini juga
karena kurangnya sosialisasi dari bagian penerangan pemerintah kepada
masyarakat dan kadang kesimpang-siuran informasi yang diberikan oleh
pejabat. Akibatnya membingungkan dan meresahkan masyarakat yang
membutuhkan kejelasan dan kepastian hukum yang berlaku.
2. Dokumen Anak WNA
Inti permasalahan yang dilakukan oleh ibu-ibu WNI terhadap anaknya yang
mestinya berstatuskan WNA pada versi UU Kewarganegaraan No. 62 th. 1958
yang masih diskriminasi gender terhadap Akte Lahir Anak Ius Sanguinis
Patriarki. Dampak psikologisnya, bahwa ibu WNI tidak dapat memberikan
jaminan perlindungan status hukum dari pemerintah kepada anaknya karena
mereka adalah WNA. Dampak ekonomi rumah tangganya, bahwa belum tentu
kemampuan finansial ibu WNI ini mapan untuk membiayai pengurusan dokumen
asing dan soal perizinan tinggal bagi penduduk asing.
Dampak UU Kewarganegaraan versi lama yang terkait dengan UU Perkawinan
dan UU Keimigrasian membuat sebagian ibu-ibu WNI melakukan penyimpangan
hukum dengan mendaftarkan anaknya sebagai “Anak Diluar Nikah” dalam Akte
Lahir sehingga anaknya otomatis menjadi WNI, tetapi terpisahkan
statusnya dari ayah WNA. Padahal kedua orang tua ini menikah secara
resmi di Catatan Sipil/KUA/Menikah di Luar Negeri.
Ibu WNI belum tentu pernah mengurus-memiliki paspor asing untuk Anak
yang dilahirkan oleh pasangan perkawinan campuran, karena mungkin tidak
pernah mengurus ke Kedutaan atau adanya peraturan Negara tersebut yang
mensyaratkan kedua orang tuanya harus hadir bersama dengan membawa
anaknya yang baru lahir untuk pembuatan paspor. Kendala hukumnya adalah
ibu WNI tidak berhak secara sepihak melakukan pembuatan paspor untuk
bayinya. Atau ketentuan perpanjangan paspor yang memerlukan tanda tangan
ayah WNA.
Keretakan atau ketidakharmonisan rumah tangga suami istri. Pada
kenyataannya, seringkali suami WNA membawa pergi dokumen anak-anak (Akte
Lahir, Paspor Asing) terutama bila dokumen tersebut dikeluarkan oleh
Perwakilan Negara Asing. Untuk meminta dokumen yang baru belum tentu
bisa dilakukan secara sepihak oleh ibu WNI saja, sementara anak tersebut
masih tinggal bersama ibu WNI di Indonesia.
Tidak banyak ibu WNI yang memilih untuk mengurus KITAS (Kartu Izin
Tinggal Terbatas) sendiri untuk anaknya yang WNA, sebagian karena
ketidakpahaman dan sebagian karena ketidaktransparanan akan peraturan
imigrasi yang menyebabkan perbedaan interpretasi di lapangan dan di
berbagai daerah di Indonesia. Dalam kasus dimana satu keluarga
perkawinan campuran mempunyai lebih dari 3 anak ditambah dengan kontrak
kerja suami WNA yang sudah berakhir, suami yang mendadak tidak mampu
bekerja karena alas an kesehatan atau pekerjaan suami WNA belum tentu
memberikan tunjangan izin tinggal untuk anak-anak WNAnya, keadaan ini
menjadi beban tambahan ekonomi rumah tangga perkawinan campuran, belum
lagi kalau ternyata suami WNA tiba-tiba menghilang entah kemana?
Sementara anak harus tetap menjadi tanggungan ibu WNI.
Dalam kasus dimana KITAS anak sudah hampir habis masa berlakunya, tetapi
SK Menteri Hukum dan HAM untuk Kewarganegaraan Anak WNI belum terbit.
Anak harus menunggu di Indonesia sampai semua dokumen keimigrasiannya
siap dan lengkap. Sedangkan ada kemungkinan ketentuan mendadak harus
meninggalkan Indonesia karena urusan keluarga yang sangat mendesak dan
mengharuskan kehadiran si anak di Negara asing.
3. Dokumen Suami WNA (Paspor Asing)
Kebanyakan para istri WNI mengalami kendala untuk membawa buku paspor
asing suami WNA, sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh Permen
untuk Pendaftaran Anak WNI, karena factor-faktor:
Dalam perkawinan yang bermasalah, khususnya pada perkawinan beda bangsa
yang jelas beda budaya, bahasa, agama, dan hukum, persyaratan ini
menimbulkan permasalahan tambahan yang pelik sehingga menjadi kendala
dalam memenuhi persyaratan ini. Tentunya pada awal perkawinan setiap
orang mengharapkan rumah tangganya berjalan mulus, tapi belum tentu
impian menjadi kenyataan hidup. Misalnya: Terjadi KDRT tapi masih
mempertahankan perkawinannya demi status perlindungan anak yang masih
dinyatakan sebagai WNA/penduduk asing di Indonesia.
Hubungan suami istri yang long distance, beda domisili dikarenakan tugas
suami WNA dipindahkan ke Negara yang berbeda-beda sehingga paspor asing
suami harus tetap melekat selama bepergian.
Belum tentu mendapat “Green Light” dari suami WNA untuk mendaftarkan
anak menjadi WNI, walaupun dengan kondisi perkawinan yang masih
baik-baik saja. Peran suami WNA selain sebagai Kepala Keluarga juga
berpeluang untuk mendominasi terhadap payung hukum yang berlaku. Ini
berarti perempuan WNI tidak mempunyai kapasitas sepenuhnya untuk
melakukan keputusan hukum bagi kepentingan dan kebaikan anaknya.
4. Persyaratan Surat Pernyataan Anak Belum Menikah
Permen meminta surat ini dibuat dan ditandatangani di atas meterai.
Apakah hal ini lazim diberlakukan kepada anak yang masih dibawah umur,
misalnya anak masih umur 3 tahun harus menyatakan belum menikah? Dalam
UU Perkawinan yang membolehkan anak menikah umur 17 tahun. Oleh
karenanya usulan KPC MELATI sebaiknya diberlakukan hanya bagi anak yang
umur jatuh tempo 17 tahun pada saat mendaftarkan menjadi WNI.
5. Legalisasi KTP dan KK di Indonesia
Bahwa peraturan dalam Kartu Keluarga hanya bisa mencantumkan individu
yang berstatuskan WNI atau orang asing yang telah mempunyai KTP bagi
Penduduk Asing. Akibatnya alamat KTP dan KK belum tentu sama dengan
alamat tinggal keluarga perkawinan campuran ini. Ditambah lagi bahwa UU
Pokok Agraria menyatakan bahwa WNA tidak dapat memiliki properti dengan
Status Hak Milik (SHM).
Intinya, ketidakpraktisan dan dapat memakan waktu lama bila istri WNI
harus mondar-mandir ke Kantor Kelurahan di tempat yang belum tentu dekat
dengan rumah tinggalnya, atau dalam kota yang sama, atau dalam wilayah
propinsi yang sama.
6. Legalisasi Dokumen Yang Diterbitkan oleh Negara Lain / Kantor Perwakilan Asing
Dalam hal ini Akte Nikah dan Akte Lahir Anak.
Tidak semua Kantor Perwakilan Negara Asing di Indonesia mengenal sistem
legalisasi dokumen sesuai dengan aslinya. Seperti cara yang lazim
dilakukan di Kantor Pemerintah Indonesia adalah pencocokan dokumen asli
dengan hasil fotokopinya dan diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang
dari Kantor yang mengeluarkan surat tersebut untuk menerakan cap dan
tanda tangan sesuai dengan aslinya.
Contohnya negara-negara:
• Hong Kong: tidak ada legalisasi bagi dokumen asli.
• Amerika: Tidak ada model True Copy, yang ada penerbitan salinan asli.
Untuk memperoleh salinan asli tersebut harus pergi sendiri ke Kantor
“Birth and Death Statistic Office” dimana setiap Negara bagian di
Amerika mempunyai ketentuan yang berbeda-beda. Untuk memperoleh salinan
asli ini tidak bisa diwakilkan oleh Kantor Perwakilan Amerika di
Indonesia. Misalnya, anak pertama lahir di Negara Bagian New York, harus
ke New York. Anak kedua lahir di Negara bagian California, harus ke
California.
• Belgia: Tidak bisa melegalisasi surat di Kantor Perwakilan Belgia di
Negara lain. Legalisasi surat harus dilakukan di Negara Belgia dimana
dokumen tersebut dikeluarkan.
Anak-anak dalam satu keluarga perkawinan campuran bisa saja dilahirkan
di Negara yang berbeda-beda dikarenakan pekerjaan orangtuanya yang
mengharuskan perpindahan domisili. Negara-negara tempat anak-anak
tersebut dilahirkan mungkin memberlakukan azas ius soli atau ius
sanguinis, sehingga menimbulkan kerumitan dalam pengurusan legalisasi
dokumen yang diperlukan.
Intinya, tidak semua urusan legalisasi dokumen bisa ditangani oleh
Kantor Perwakilan Asing di Indonesia. Karena harus dikembalikan kepada
Negara masing-masing yang berwenang melakukan legalisasi dokumen sebagai
True Copy/Salinan Asli/Kutipan. Kemudian tidak semua pasangan
perkawinan campuran berdomisili di negara dimana mereka pernah menikah
atau di tempat setiap kelahiran anak-anaknya.
Konsekuensi yang harus diterima bila menikah dengan seorang WNA. Salah
satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita
WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang
wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga
negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan
setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling
lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anak yang lahir dari perkawinan campuran kemungkinan bahwa ayah ibunya
memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua
yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama,
anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan
UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal,
sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki
satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus
diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.
Di UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan Peralihan Pasal 41:
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan
dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan
mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan
Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang
ini diundangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar