Senin, 20 Mei 2013

Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia. Pengertian Perkawinan Campuran menurut undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Pengertian perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah lebih sempit apabila dibandingkan dengan pengertian "perkawinan campuran" dalam GHR, karena kriteria perkawinan campuran menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP). Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.
B. Tujuan Penulisan
Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Perdata Internasional serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Bagaimana Status Anak dalam Perkawinan Beda Kewarganegaraan.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana Status Anak dari Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Hukum dan Teori-teori yang Mengaturnya
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, anak yang lahir dari “perkawinan campur” hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, dianggap tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi anak yang lahir dari perkawinan campur dan diskriminasi hukum terhadap WNI Perempuan. Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing.
Upaya memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia yang melakukan pernikahan dengan warga asing serta menghilangkan diskriminasi bagi WNI perempuan, lahirlah Undang-undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006. Undang – undang ini memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil kawin campur. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan kewarganegaran dari perkawinan campuran.
Disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan) ini pada tanggal 1 Agustus 2006 oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, memberikan semangat dan harapan baru bahwa Negara benar-benar menjamin dan melindungi kepentingan dan hak dasar bagi perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA untuk bersama menurunkan kewarganegaraan kepada keturunan mereka
.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, anak yang lahir dari perkawinan seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang Pria WNI dengan Perempuan WNA, diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Kewarganegaraan merupakan salah satu unsur hakiki yang pada umumnya sangatlah penting dan merupakan unsur pokok bagi suatu negara yang menimbulkan hubungan timbal balik serta mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negara, khususnya anak yang dilahir di Indonesia dari suatu perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Penentuan sistem kewarganegaraan yang dianut di dunia pada umum yaitu kewarganegaraan tunggal berdasarkan suatu asas keturunan (ius sanguinis) atau tempat kelahiran (ius soli). Akan tetapi adakalanya bagi seseorang anak untuk dapat memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride), hal tersebut disebabkan karena untuk mencegah adanya orang yang tanpa kewarganegaraan (apatride).
Penentuan Kewarganegaraan yang dianut di Indonesia menurut Undangundang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yaitu
kewarganegaraan ganda terbatas yang pada pasal 6 dan 21 menjelaskan bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari
suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi memelihara anak asing. Jadi, Undang – undang baru ini lebih memberikan perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “ perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.
Prinsip yang termaktub dalam UU Kewarganegaraan tersebut sangat jelas yaitu:
1. Prinsip persamaan di dalam hukum dan pemerintahan;
2. Prinsip perlindungan terbaik bagi kepentingan anak;
3. Prinsip kewarganegaraan ganda terbatas;
4. Prinsip perlindungan maksimum;
5. Prinsip non diskriminatif.
Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dari UU Kewarganegaraan, titik taut agar anak memperoleh Kewarganegaraan Indonesia adalah bila salah satu dari kedua orang tuanya adalah WNI, dan dengan prinsip perlindungan terbaik bagi kepentingan terbaik anak maka dalam
Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41 dari UU Kewarganegaraan anak-anak yang telah dilahirkan sebelum UU Kewarganegaraan disahkan dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pendaftaran.
UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan Peralihan Pasal 41:
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Ketentuan dari Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41 dari UU Kewarganegaraan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 (Permen). Persyaratan terhadap permohonan tersebut diatur dalam Pasal 4 Permen.
Namun dalam kenyataannya dalam Pasal 4 ayat 2 terdapat perbedaan interpretasi yang sangat mendasar yang dapat mengakibatkan tidak dapat dinikmatinya hak perempuan WNI dalam menurunkan kewarganegaraannya kepada keturunannya, yang telah sekian puluh tahun diabaikan dan dirugikan oleh negara. Hal ini merupakan bentuk kemunduran dengan tetap dipeluknya paradigma lama.
Permen No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 2:
Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
1. Fotokopi kutipan akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. Surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. Fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
4. Pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak 6 (enam) lembar.
Seharusnya persyaratan dalam Pasal 4 dari Permen ditujukan bagi orang tua yang berwarganegara Indonesia saja, hal ini sesuai dengan alur jiwa dari UU Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 yakni seorang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena salah satu orang tuanya adalah WNI.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah.
Asas Ius Soli
Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan.
Asas Ius Sanguinis
Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
penentuan kewarganegaraan juga dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupi asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin
• pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut
• sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
• jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya;
• memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu
• dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri
• yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan
• masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden
• secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia
• secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut
• tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing
• mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya
• bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas Negara
• tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
B. Tata Cara Pendaftaran Untuk Kewarganegaraan Ganda Anak
Tata cara pendaftaran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari UU No.12/2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak yang berayahkan WNA dan beribukan WNI dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. Permohonan pendaftaran tersebut bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal di negara tempat tinggal anak belum terdapat Perwakilan Republik Indonesia, maka permohonan pendaftaran dilakukan melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia terdekat.
Dengan demikian, jika anak-anak Ibu bertempat tinggal di Malaysia, maka dapat mengajukan permohonannya melalui KBRI di Kuala Lumpur atau Konsulat Jenderal RI yang terdekat dengan kediaman anak. Begitu pun halnya jika bertempat tinggal di Jerman, dapat menghubungi KBRI atau KonJen RI yang terkait.
Permohonan pendaftaran sekurang-kurangnya memuat:
1. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak;
2. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua;
3. nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua; dan
4. kewarganegaraan anak.
Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan:
1. fotokopi kutipan Akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
4. pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar.
Selain lampiran sebagaimana dimaksud bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan Akte perkawinan/buku nikah. Apabila orang tua bercerai atau salah satu diantaranya telah meninggal dunia, maka dengan melampirkan kutipan Akte perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan Akte kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Dalam hal permohonan pendaftaran telah dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia.
Keputusan tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan ketentuan:
1. rangkap pertama diberikan kepada orang tua atau wali anak melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia sebagai arsip; dan
3. rangkap ketiga disimpan sebagai arsip Menteri.
Keputusan Menteri tersebut disampaikan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia menyampaikan Keputusan Menteri tersebut kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. Permohonan pendaftaran anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diproses apabila telah diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat pada tanggal 1 Agustus 2010. Dalam hal permohonan pendaftaran anak diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia melalui pos hanya dapat diproses apabila stempel pos pengiriman tertanggal paling lambat tanggal 1 Agustus 2010.
Dengan demikian anak-anak Ibu akan memiliki kewarganegaraan ganda, dan di usia 18 tahun nanti atau sebelumnya apabila menikah sebelum 18 tahun, anak-anak Ibu harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan tersebut.
PENGERTIAN
 Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis. Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat
 Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
1. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan dilakukan adalah perkawinan campuran.
2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat- syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat Perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).
Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
4. Surat-surat yang harus dipersiapkan Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
a. Untuk calon suami
Calon suami harus melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
1. Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
2. Fotokopi Akte Kelahiran
3. Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
4. Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
5. Akte Kematian istri bila istri meninggal
6. Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
b. Untuk anda, sebagai calon istri
Anda harus melengkapi diri anda dengan:
1. Fotokopi KTP
2. Fotokopi Akte Kelahiran
3. Data orang tua calon mempelai
4. Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawina
5. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
6. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.
Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia.
7. Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
C. Analisis Masalah Di Lapangan
Penelitian dan hasil temuan setelah Peraturan Menteri terbit pada tanggal 26 September 2006.
Pendaftaran kewarganegaraan langsung ke Kantor Wilayah. Tim Riset KPC MELATI langsung terjun lapangan yaitu ke Kantor Wilayah Dephukham DKI Jakarta sebagai pintu gerbang pertama yang menangani proses permohonan pendaftaran anak menjadi WNI.
Tim Riset secara proaktif dan berkala melakukan pengawalan terhadap aplikasi tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia yang diatur oleh Permen yang sekarang berjalan bagi pelaku perkawinan campuran terutama oleh ibu-ibu WNI yang ingin segera mendaftarkan anaknya menjadi WNI.
Masalah-Masalah masih ada saja kendala dalam praktek lapangan
Teori dan praktek beda di lapangan
Index Permasalahan dari Permen ini terbagi dalam kategori:
1. Dokumen Keluarga Perkawinan Campuran
Dilemma: Kurangnya pengetahuan hukum ibu WNI alias buta hukum. Ini juga karena kurangnya sosialisasi dari bagian penerangan pemerintah kepada masyarakat dan kadang kesimpang-siuran informasi yang diberikan oleh pejabat. Akibatnya membingungkan dan meresahkan masyarakat yang membutuhkan kejelasan dan kepastian hukum yang berlaku.
2. Dokumen Anak WNA
Inti permasalahan yang dilakukan oleh ibu-ibu WNI terhadap anaknya yang mestinya berstatuskan WNA pada versi UU Kewarganegaraan No. 62 th. 1958 yang masih diskriminasi gender terhadap Akte Lahir Anak Ius Sanguinis Patriarki. Dampak psikologisnya, bahwa ibu WNI tidak dapat memberikan jaminan perlindungan status hukum dari pemerintah kepada anaknya karena mereka adalah WNA. Dampak ekonomi rumah tangganya, bahwa belum tentu kemampuan finansial ibu WNI ini mapan untuk membiayai pengurusan dokumen asing dan soal perizinan tinggal bagi penduduk asing.
Dampak UU Kewarganegaraan versi lama yang terkait dengan UU Perkawinan dan UU Keimigrasian membuat sebagian ibu-ibu WNI melakukan penyimpangan hukum dengan mendaftarkan anaknya sebagai “Anak Diluar Nikah” dalam Akte Lahir sehingga anaknya otomatis menjadi WNI, tetapi terpisahkan statusnya dari ayah WNA. Padahal kedua orang tua ini menikah secara resmi di Catatan Sipil/KUA/Menikah di Luar Negeri.
Ibu WNI belum tentu pernah mengurus-memiliki paspor asing untuk Anak yang dilahirkan oleh pasangan perkawinan campuran, karena mungkin tidak pernah mengurus ke Kedutaan atau adanya peraturan Negara tersebut yang mensyaratkan kedua orang tuanya harus hadir bersama dengan membawa anaknya yang baru lahir untuk pembuatan paspor. Kendala hukumnya adalah ibu WNI tidak berhak secara sepihak melakukan pembuatan paspor untuk bayinya. Atau ketentuan perpanjangan paspor yang memerlukan tanda tangan ayah WNA.
Keretakan atau ketidakharmonisan rumah tangga suami istri. Pada kenyataannya, seringkali suami WNA membawa pergi dokumen anak-anak (Akte Lahir, Paspor Asing) terutama bila dokumen tersebut dikeluarkan oleh Perwakilan Negara Asing. Untuk meminta dokumen yang baru belum tentu bisa dilakukan secara sepihak oleh ibu WNI saja, sementara anak tersebut masih tinggal bersama ibu WNI di Indonesia.
Tidak banyak ibu WNI yang memilih untuk mengurus KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) sendiri untuk anaknya yang WNA, sebagian karena ketidakpahaman dan sebagian karena ketidaktransparanan akan peraturan imigrasi yang menyebabkan perbedaan interpretasi di lapangan dan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam kasus dimana satu keluarga perkawinan campuran mempunyai lebih dari 3 anak ditambah dengan kontrak kerja suami WNA yang sudah berakhir, suami yang mendadak tidak mampu bekerja karena alas an kesehatan atau pekerjaan suami WNA belum tentu memberikan tunjangan izin tinggal untuk anak-anak WNAnya, keadaan ini menjadi beban tambahan ekonomi rumah tangga perkawinan campuran, belum lagi kalau ternyata suami WNA tiba-tiba menghilang entah kemana? Sementara anak harus tetap menjadi tanggungan ibu WNI.
Dalam kasus dimana KITAS anak sudah hampir habis masa berlakunya, tetapi SK Menteri Hukum dan HAM untuk Kewarganegaraan Anak WNI belum terbit. Anak harus menunggu di Indonesia sampai semua dokumen keimigrasiannya siap dan lengkap. Sedangkan ada kemungkinan ketentuan mendadak harus meninggalkan Indonesia karena urusan keluarga yang sangat mendesak dan mengharuskan kehadiran si anak di Negara asing.
3. Dokumen Suami WNA (Paspor Asing)
Kebanyakan para istri WNI mengalami kendala untuk membawa buku paspor asing suami WNA, sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh Permen untuk Pendaftaran Anak WNI, karena factor-faktor:
Dalam perkawinan yang bermasalah, khususnya pada perkawinan beda bangsa yang jelas beda budaya, bahasa, agama, dan hukum, persyaratan ini menimbulkan permasalahan tambahan yang pelik sehingga menjadi kendala dalam memenuhi persyaratan ini. Tentunya pada awal perkawinan setiap orang mengharapkan rumah tangganya berjalan mulus, tapi belum tentu impian menjadi kenyataan hidup. Misalnya: Terjadi KDRT tapi masih mempertahankan perkawinannya demi status perlindungan anak yang masih dinyatakan sebagai WNA/penduduk asing di Indonesia.
Hubungan suami istri yang long distance, beda domisili dikarenakan tugas suami WNA dipindahkan ke Negara yang berbeda-beda sehingga paspor asing suami harus tetap melekat selama bepergian.
Belum tentu mendapat “Green Light” dari suami WNA untuk mendaftarkan anak menjadi WNI, walaupun dengan kondisi perkawinan yang masih baik-baik saja. Peran suami WNA selain sebagai Kepala Keluarga juga berpeluang untuk mendominasi terhadap payung hukum yang berlaku. Ini berarti perempuan WNI tidak mempunyai kapasitas sepenuhnya untuk melakukan keputusan hukum bagi kepentingan dan kebaikan anaknya.
4. Persyaratan Surat Pernyataan Anak Belum Menikah
Permen meminta surat ini dibuat dan ditandatangani di atas meterai. Apakah hal ini lazim diberlakukan kepada anak yang masih dibawah umur, misalnya anak masih umur 3 tahun harus menyatakan belum menikah? Dalam UU Perkawinan yang membolehkan anak menikah umur 17 tahun. Oleh karenanya usulan KPC MELATI sebaiknya diberlakukan hanya bagi anak yang umur jatuh tempo 17 tahun pada saat mendaftarkan menjadi WNI.
5. Legalisasi KTP dan KK di Indonesia
Bahwa peraturan dalam Kartu Keluarga hanya bisa mencantumkan individu yang berstatuskan WNI atau orang asing yang telah mempunyai KTP bagi Penduduk Asing. Akibatnya alamat KTP dan KK belum tentu sama dengan alamat tinggal keluarga perkawinan campuran ini. Ditambah lagi bahwa UU Pokok Agraria menyatakan bahwa WNA tidak dapat memiliki properti dengan Status Hak Milik (SHM).
Intinya, ketidakpraktisan dan dapat memakan waktu lama bila istri WNI harus mondar-mandir ke Kantor Kelurahan di tempat yang belum tentu dekat dengan rumah tinggalnya, atau dalam kota yang sama, atau dalam wilayah propinsi yang sama.
6. Legalisasi Dokumen Yang Diterbitkan oleh Negara Lain / Kantor Perwakilan Asing
Dalam hal ini Akte Nikah dan Akte Lahir Anak.
Tidak semua Kantor Perwakilan Negara Asing di Indonesia mengenal sistem legalisasi dokumen sesuai dengan aslinya. Seperti cara yang lazim dilakukan di Kantor Pemerintah Indonesia adalah pencocokan dokumen asli dengan hasil fotokopinya dan diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang dari Kantor yang mengeluarkan surat tersebut untuk menerakan cap dan tanda tangan sesuai dengan aslinya.
Contohnya negara-negara:
• Hong Kong: tidak ada legalisasi bagi dokumen asli.
• Amerika: Tidak ada model True Copy, yang ada penerbitan salinan asli. Untuk memperoleh salinan asli tersebut harus pergi sendiri ke Kantor “Birth and Death Statistic Office” dimana setiap Negara bagian di Amerika mempunyai ketentuan yang berbeda-beda. Untuk memperoleh salinan asli ini tidak bisa diwakilkan oleh Kantor Perwakilan Amerika di Indonesia. Misalnya, anak pertama lahir di Negara Bagian New York, harus ke New York. Anak kedua lahir di Negara bagian California, harus ke California.
• Belgia: Tidak bisa melegalisasi surat di Kantor Perwakilan Belgia di Negara lain. Legalisasi surat harus dilakukan di Negara Belgia dimana dokumen tersebut dikeluarkan.
Anak-anak dalam satu keluarga perkawinan campuran bisa saja dilahirkan di Negara yang berbeda-beda dikarenakan pekerjaan orangtuanya yang mengharuskan perpindahan domisili. Negara-negara tempat anak-anak tersebut dilahirkan mungkin memberlakukan azas ius soli atau ius sanguinis, sehingga menimbulkan kerumitan dalam pengurusan legalisasi dokumen yang diperlukan.
Intinya, tidak semua urusan legalisasi dokumen bisa ditangani oleh Kantor Perwakilan Asing di Indonesia. Karena harus dikembalikan kepada Negara masing-masing yang berwenang melakukan legalisasi dokumen sebagai True Copy/Salinan Asli/Kutipan. Kemudian tidak semua pasangan perkawinan campuran berdomisili di negara dimana mereka pernah menikah atau di tempat setiap kelahiran anak-anaknya.
Konsekuensi yang harus diterima bila menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anak yang lahir dari perkawinan campuran kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan
UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.
Di UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan Peralihan Pasal 41:
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Kedudukan Hukum Perdata Internasional di Negara Negara Islam


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Pada hakikatnya setiap negara yang berdaulat memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstrem hukum positif untuk mengatur warga negaranya.
Salah satu hukum positif yang ada di indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.

Kemudian mengenai kedudukan Hukum Perdata Internasional di negara islam hanya mencakup sebagian kecil dari setiap sistem hukum perdata dan hukum islam.

Permasalahan mengenai keperdataan yang mengaitkan antara unsur unsur internasional pada era gloobalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Faktor non negara dan faktor individu mempunyai peran yang dominan.

Perusahaan perusahaan multi nasional, baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan, hilir mudik melintasi batas teritorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan. Mereka yang mempunyai uang lebih uatau ingin mencari uang lebih, keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan antara dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan di suatu negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya.

Inilah sebuah konsensi dari sebuah globalisasi. Tidak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia.

Masalah masalah keperdataan diatas sangat diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari semua hal diatas. Wadah tersebut dibutuhkan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari pada hukum rimba, dimana yang kuatlah yang menang, dan yang lemah akan selalu tertindas, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Permasalahan diataslah yang menjadikan hukum tentang keperdataan sangat perlu diatur dalam suatu kerangka kerangka hukum positif.

Makalah ini akan membahas mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasannya. Diantaranya adalah Pengertian, Ruang Lingkup,Asas Asas,Sumber Sumber, Titik Pertalian dan masalah pokoknya yaitu Kedudukan Hukum Perdata Internasional di Negara Islam.

Rumusan Masalah

Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman mengenai beberapa hal, antara lain :
1.         Bagaimana yang dimaksud Hukum Perdata Internasional, dan
2.         Bagaimana kedudukan Hukum Perdata Internasional di negara negara islam yang sebelumnya telah menerapkan sistem hukum islam.

Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan memaparkan beberapa penjelasan yang lebih luas lagi agar siapapun yang sedang mempelajarinya dapat memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis mengenai Hukum Perdata Internasional.
Penulisan ini diharapkan dapaat menjadi tambahan referansi yang berguna dalam perluasan ilmu pengetahuan dan menjadi sumber informasi bagi pihak pihak yang membutuhkan.

Tujuan penulisan ini antara lain :
1.    Menjelaskan mengenai pengertian Hukum Perdata Internasional.
2.    Menjelaskan tentang berbagai sumber sumber Hukum Perdata Internasional.
3.    Menjelaskan tentang titik pertalian diantara Hukum Perdata Internasional
4.    Menjelaskan tentang kedudukan Hukum Perdata Internasional dinegara negara islam yang menggunakan sistem hukum islam.



BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Perdata Internasional

Adanya “Hukum Perdata Internasional” adalah karena ada dalam hubungan hukumnya terdapat unsur asingnya (Foreign Element). Pada umumnya aturan perdata internasional di Indonesia diatur dalam Algemene Bepalingen (AB).

Didalam pengertian Hukum Perdata Internasional terdapat 2 (dua) macam aliran :
1.      Internasionalitas : mengharuskan agar ada hukum perdata yang berlaku di seluruh dunia atau antar beberapa negara.
2.      Nasionalitas : di setiap Negara mempunyai Hukum Perdata Internasional masing-masing.
Artinya : Hukum Perdata Internasional ini bukanlah satu hukum yang telah terkodifikasi dan berlaku bagi dunia internasional, Namun hukum perdata internaasional merupakan hukum yang terkodifikasi di masing masing negara dimana hukum tersebut berlaku bagi setiap warga negaranya yang melakukan hubungan internasional.

Hukum Perdata Internasional Menurut Beberapa Ahli Hukum

1.      Sudargo Gautama : keseluruhan peraturan dan kekhususan hukum yang menunjuk stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa antara warga-warga Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian-pertalian dengan stelsel-stelsel dengan kaidah-kaidah hukum 2 (dua) atau lebih Negara yang berbeda dalam lingkungan, kuasa tempat, pribadi dan soal-soal.
2.      Van Brakel : yaitu hukum nasional yang khusus diperuntukkan bagi perkara-perkara internasional.
3.      Moechtar Koesoemaatmadja : yaitu keseluruhan kaidah yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Atau hukum yang mengatur hubungan antar pelaku yang masing masing tunduk pada hukum perdata negaranya.

Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional

Ada beberapa aliran, antara lain :
1.    Aliran yang paling sempit dianut oleh Jerman dan Belanda yaitu mencakup Techtstoepassingrecht : hukum yang berlaku untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengandung unsur asing.
Dengan demikian aliran sempit ini berbicara mengenai “Choice of Law”.
2.    Ada yang mengatakan bahwa luas bidang HPI : mengenai hakim mana yang harus menyelesaikan masalah yang memuat unsur asing setelah itu baru dipermasalahkan hukum apa yang diberlakukan terhadap masalah tersebut. Oleh karenanya pada paham atau aliran ini memuat “Choice of Law” dan “Choice of Yuridiction”.
Paham kedua ini dianut oleh
a.    Negara-negara Anglo Saxon.
b.    Italia dan Spanyol
c.    Perancis.

Asas-Asas Hukum Perdata Internasional

1.    Orang yang berbeda kewarganegaraan yang melakukan perjanjian atau hubungan hukum diantara keduanya. Dengan kata lain orangnya yang asing
2.    Lex Rai Sitae
Yaitu dimana orang yang melakukan hubungan hukum tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama, Namun obyeknya ada di lain negara. (tempat letaknya barang)



3.    Teori Lex Loci Contractus
Yaitu dimana orang yang melakukan hubungan hukum tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama. Namun tempat pembuatan perjanjiannya berbeda negara. (tempat dilakukanya tindakan)
4.    Teori Lex Loci Solutionis
Yaitu dimana orang yang melakukan hubungan hukum dan tempat pembuatan perjanjiannya sama. Namun pelaksanaan perjanjiannya berbeda negara (tempat dilangsungkanya perbuatan)
Kelemahan teori ini apabila pelaksanaan dari kontrak dilakukan di berbagai negara.

Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional

1.    Sumber Utama
a.    Sumber Tertulis
Antara lain :  UU dan Trakat
b.    Sumber Tidak Tertulis
Antara lain : Yurisprudensi dan Kebijaksanaan
2.    Sumber Hpi Indonesia
a.    Masa sebelum tahun 1945 .Sumber HPI Indonasia (HINDIA Belanda) yaitu:
-       Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB
-       Pasal 131 IS dan 163 IS
b.    Masa setelah tahun 1945 ( Setelah Indonesia merdeka )
-       Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB
-       UU kewarganegaraan RI yaitu UU no 62 / 1958
-    UU no 5 tahun 1960, UU pokok agrarian. Dalam uu ini ada 2 pasal yang menyangkut dengan HPI
Isi Dari Pasal 16, 17 dan 18 AB Tersebut Diatas :
1.    Pasal 16 AB Status Personil Seseorang & Wewenang
Status & wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya ( Lex patriae )
Jadi seseorang dimanapun ia berada tetap terikat kepada hukumnya yang menyangkut status & wewenang demikian pula orang asing maksudnya status & wewenang orang asing itu harus dinilai hukum nasional orang asing tersebut
2.    Pasal 17 AB Status Kenyataan atau Riil
Status Mengenai benda2 tetap harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat dimana benda itu terletak ( lex resital )

3.    Pasal 18 AB Status Campuran
      Status campuran bentuk tindakan hukum dinilai menurut hukum dimana tindakan itu dilakukan ( Locus Regit Actum )
Ketiga pasal tersebut diatas merupakan contoh dari ketentuan penunjuk disebut sebagai ketentuan penunjuk karena menunjuk kepada suatu sistim tertentu mungkin hukum nasional maupun hukum asing, dalam prakteknya hakim yang mengadili kasus HPI ini merupakan atau memakai hukum asing hal ini dilakukan oleh sang hakim dengan dasar karena UU yang berlaku dinegara orang asing tersebut yang memerintahkan bahwa dalam kasus yang dihadapi tersebut menerapkan hukum asing

Titik Pertalian

Titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat menunjukkan adanya kaitan antara-antara fakta-fakta yang ada di dalam suatu perkara dengan suatu tempat/sistem hukum yang harus atau mungkin untuk dipergunakan.
Untuk mengetahui hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsure asing, hakim harus mencari titik taut yang ada atau berkaitan di dalam masalah HPI tersebut dengan melihat kepada titik-titik pertalian yang ada.
1.    Titik Pertalian Primer (TPP)

Titik pertalian primer merupakan titik taut yang menentukan bahwa peristiwa tersebut merupakan HPI. Jadi, TPP melahirkan HPI. Fungsi TPP adalah untuk menentukan ada tidaknya peristiwa HPI. Titik pertalian primer disebut juga Titik Taut Pembeda/Point of Contact/Aanknoping Spunten.
TPP meliputi :
a.    Kewarganegaraan
b.    Bendera kapal
c.    Domisili
d.    Tempat kediaman
e.    Tempat kedudukan
f.     Hubungan hukum di dalam hubungan internasional.

2.    Titik Pertalian Sekunder

Titik pertalian sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu di dalam hubungan HPI. Titik taut penentu ini menentukan hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah HPI.
1.    Pilihan hukum
2.    Letak benda atau obyeknya (Lex Rai Sitae)
3.    Letak pembuatan perjanjiannya
4.    Tempat pelaksanaan dari pada perjanjian ( Lex Loci Solutionis )
5.    Tempat di mana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan (Tatort)




BAB III
KEDUDUKAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DI NEGARA ISLAM


Kedudukan Hukum

Hukum ditengah tengah masyarakat memilliki peranan yang sangat strategis: Pergaulan hidup antar warga masyarakat; Hubungan antara negara dengan warganya; Hubungan antara negara dengan negara dan warga dunia.

Kedudukan hukum berarti menyatakan adanya perbedaan atau selisih diantara beberapa aturan hukum yang ada. Perbedaan itu yang menyebabkan diperlukannya pemahaman lebih lanjut mengenai masing masing aturan hukum tersebut, agar jika terjadi permasalahan nantinya, bisa diselesaikan dengan cara yang tepat dan sesuai kehendak dari para pihak yang berselisih.

Kedudukan hukum di suatu negara biasanya berbeda beda, yaitu sesuai dengan tata urutan peraturan perundang undangan yang berlaku. Itu masih dalam konsep negara demokrasi. Lalu bagaimana jika didalam negara yang menganut sistem kerajaan atau disebut monarki ? atau bagaimana jika di dala negara yang menganut sistem hukum islam?.

Kemudian mengenai kedudukan Hukum Perdata Internasional di negara islam hanya mencakup sebagian kecil dari setiap sistem hukum perdata dan hukum islam.

Di negara islam menyebut Hukum Perdata Internasional dengan sebutan Hukum Perdata Islam Internasional, dimana unsur unsur yang dipakai adalah hasil adopsi dari sistem Hukum Perdata Internasional dan Hukum Islam yang digabung jadi satu menjadi Hukum Perdata Islam Internasional.

Beberapa sarjana memiliki anggapan bahwa Hukum Internasional yang termasuk juga Hukum Perdata Internasional modern tidaklah murni sebagai huku yang secara eksklusif warisan Eropa. Sehingga mereka berkesimpulan akan terdapatnya pengaruh pengaruh yang indispensable dari peradaban peradaban lain, yang diantaranya adalah Peradaban islam. Yang pada saat itu merupakan kekuatan ekonomi diatas bangsa Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum internasional Eropa dinyatakan oleh beberapa sejarahwan Eropa diantaranya Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit.

Kedudukan Hukum Perdata Internasional Di Negara Islam

Hukum Perdata Internasional bukanlah sebuah peraturan yang terkodifikasi seperti peraturan perundang undangan, dimana akan berlaku secara internasional. Tetapi Hukum Perdata intrnasional merupakan hukum nasional di masing masing negara yang namanya sama. Tapi isinya berbeda di setiap negara, sesuai dengan situasi dan kondisi negaranya masing masing.

Begitu juga di negara yang menganut Sistem Hukum Islam. Semuanya telah diatur di dalam undang undang negaranya maupun dalam kitab suci agama islam yang dijadikan sebagai sumber dan pedoman hukum islam, meskipun dengan pembahasan yang berbeda dengan sistem hukum negara lain di dunia.

Hukum internasional di negara islam telah ada jauh sebelum adanya Hukum Perdata Internasional. Meskipun dalam praktiknya dilakukan dengan sangat sederhana. Kedudukan Hukum Perdata Internasional terhadap negara negara islam hanya sebatas hukum hukum atau peraturan peraturan yang bersifat umum saja. Seperti Hukum Perkawinan dan Hukum Waris. Tapi itu juga tidak semuanya telah diatur disitu, contohnya saja tentang Hukum Perkawinan, yang diatur hanya perkawinan antara lain
1.   Orang yang berbeda kewarganegaraan (Lex Rei Sitae)
2.   Orang yang berbeda tempat pembuatan perjanjian perkawinannya (Lex Loci Contractus)
3.   Orang yang berbeda tempat pelaksanaan perkawinannya (Lex Loci Solution)
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Jadi. Hukum ditengah tengah masyarakat memilliki peranan yang sangat strategis: Pergaulan hidup antar warga masyarakat; Hubungan antara negara dengan warganya; Hubungan antara negara dengan negara dan warga dunia.

Hukum Perdata Internasional bukanlah sebuah peraturan yang terkodifikasi seperti peraturan perundang undangan, dimana akan berlaku secara internasional. Tetapi Hukum Perdata intrnasional merupakan hukum nasional di masing masing negara yang namanya sama. Tapi isinya berbeda di setiap negara, sesuai dengan situasi dan kondisi negaranya masing masing.

Kedudukan hukum berarti menyatakan adanya perbedaan atau selisih diantara beberapa aturan hukum yang ada. Perbedaan itu yang menyebabkan diperlukannya pemahaman lebih lanjut mengenai masing masing aturan hukum tersebut, agar jika terjadi permasalahan nantinya, bisa diselesaikan dengan cara yang tepat dan sesuai kehendak dari para pihak yang berselisih.

Kedudukan hukum di suatu negara biasanya berbeda beda, yaitu sesuai dengan tata urutan peraturan perundang undangan yang berlaku. Itu masih dalam konsep negara demokrasi. Lalu bagaimana jika didalam negara yang menganut sistem kerajaan atau disebut monarki ? atau bagaimana jika di dala negara yang menganut sistem hukum islam?.

Saran
Harapan penulis supaya dosen mata kuliah hukum perdata internasional ini dan para pembaca sekalian dapat memberikan komentar kritik dan saran yang memiliki nilai etika dan moral yang bersifat membangun demi kesempurnaan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA


Burhantsani, Muhammad. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty
Kusumaatmadja, Mochtar. 1999. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Putra  Abardin
H. Zaeny Asyhadie, SH. M,Hum. Perkuliahan Hukum Internasional. 26 Maret 2013
http://www.wikipedia.com
http://www.hukumonline.com
http://etnishukum.blogspot.com/2011/11/hukum-perdata-internasional.html?m=1
http://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum-perdata-internasional/
http://giebluesky.blogspot.com/2010/09/resume-hukum-perdata-internasionnal.html?m=1
http://Id.shvoong.com/law-and-politics/law/2109088-kedudukan-hukum/